Thursday, January 3, 2013

MANDZUMATUL ADZKIYA ESQ VERSI TASAUF SEDERHANA

Entah mengapa pagi-pagi terasa ada yang mengingatkan, saya mencoba mengingat-ingat apa yah yang harus kuingat. Sambil menyantap makan pagi, subhanallah, ternyata saya diingatkan untuk mengingat hari penting, hari pertama saya masuk pondok di PP. Budi Mulia, 4 Desember 1984. Sore menjelang maghrib, sehabis hujan Mas Hernowo (Alm, ketua Jama;ah Shalahuddin UGM saat itu), dengan motor bebek merah menjemput saya di Asrama Realita, depan kampusnya Jokowi (Fakulat Kehutan UGM). Ayo, kalau jadi mau mondok, nanti malam dimulai, segera saya berkemas-kemas bawa baju secukupnya, yang lain menyusul sambil pamitan ke ibu asrama.
Sesampai di Padepokan Budi Mulia (Nama awal PP.BM), sudah ada Mas Mansur Romi (Bendagara Yayasan), Pak Chairil Anwar (sekarang dekan FMIPA), Pak Dochak Latief, Ketua Pondok, Pak Suprapto (Kyai), Pak Watik (Ahmad Wati Pratiknya, Direktur Labda), Pak Amien Rais (Ketua Yayasan), Pak Syefullah Mahyudin, Husen Ahmad, Kuntowidjojo, Ahmad Syafii Maarif, Pak Darban, Muhyidin mawardi dll, kami menunggu Pak AR untuk memberikan Khutbah Iftitah, kuliah perdana.
Malam itu, bertepatan dengan 12 Maulid 1404, khutbah iftitah disampaikan dengan penuh "greng" khas gaya pak AR. Meskipun, tema yang diangkat adalah masalah serius, "Santri Cleleng", "Santri Militan" dengan mengutip ayat yang ada di mihrob Masjid Abu Abakar assidiq itu, masjid pondok tempat kami mengaji, Pak AR menguraikan masalah Jihad yang sebenar-benar Jihad. Dalam konteks santri, para santri, baik yang mukim maupun santri kalong (kebanyakan mahasiswi yang kalong), hendaknya menjadi "santri Cleleng" santri yang militan, penuh semangat jihad, dalam makna mencari ilmu, sebab, para santri adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang harus kuliah dan juga harus mengikuti program-program padepokan dan otoaktifitasnya (pengembangan dirinya).
Begitu indah menjalani dua pendidikan, kuliah di kampus UGM, mengaji dengan para intelektual muslim yang sangat ikhlash memberikan ilmuanya. Bahkan kadang-kadang kami (Saya, Pram, Kusnan) ditraktir kongkow kongkow di alun-alun oleh Pak Amien sambil diskusi berbagai persoalan umat terutama terkeit dengan ketertinggalan umat. Sambil menyantap skoteng dan jagung bakar, kami sering membicarakan perjuangan jangka panjang, menyemai bibit-bit kebangkitan, menularkan semangat kepada teman-teman dari kampus di kota lain, melalui berbagai kegiatan pondok pesantren Budi Mulia seperti I'tikaf Ramadhan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Saat menajdi koordinator Bidang analisis dan kajian Laboratorium dakwah, begitu asyik mengadakan bedah buku tiap minggu mengundang santri kalong dan aktivis mahasiswa (LDK, HMI, PII dsb). Meski kadang dicap Syiah karena mengkaji buku Haji Ali Shariati oleh Kang Jalal (Djalaluddin Rachmat) maupun ekstrim kiri karena membedah pemikiran Paulo Freira tentang pendidikan yang membebaskan.
Suatu pagi habis pengajian ba'da subuh di bulan Juli 1985, terdengar : Dar dar , begitu Ustadz memanggil saya. Liburan besok kita isi kajian tasauf gmn ? Boleh, jawab saya terus ustadz memberikan buku kecil dg judul "Mandzumatul Adkiya". Buat undangan yg menarik, utamanya santri kalong dan alumni itikaf. begitu tambah ustadz. Langsung sy bikin undangan dg mesin ketik IBM ,. saya terjemahkan bebas judu;lnya menjadi : "NYANYIAN ORANG ORANG CERDAS", dan pada Pengajian Budi Luhur label kajian tassauf kami yang pertama, hadir Yose Rizal dkk dari Trisakti, Umi Widiastutu dkk dari Undip, Wildan dkk santri kalong plus santri mukim dan Pengurus Jama'ah Shalahuddin UGM, Agus Priyono dkk, tidak kurang dari 60 mahasisawa dari berbagai kampus mengikuti kajian tasauf Mandzumatul Adzkiya.
Buku itu (buku lama) mengupas difinisi orang cerdas (adzakiyu). Isinya dari mengupas hubungan antara syariat, jihad dan hakekat. Terkait dengan karakter ada berani makan akar untuk mempertahankan kebenaran, jihad dan akhlaqul karimah lainnya hingga Uzlah untuk menghindar dr kemaksiatan.
Dua tahun lalu, menjelang ustadz wafat, semua santri senior (kami tidak mengenal mantan santri sesuai amanat pak Amin Rais) dan mengkaji buku itu kembali. Meski harus secara regular ganti cairan, Ustadz memberi kajian itu semalam suntuk. Untuknya diantara kami ada Prof. Dr Ali Ghufron, yang setiap saat menangani sakitnya ustadz. Dan seperti biasa meminta saya menerjemahkan dalam yang dideklamasikan. Ayo, wardono terjemahkan, begitu ustadz mlesetkan nama saya. Subhanallah, saya bisa memaknai baru dari kitab utama "Kajian Budi Luhur" itu, buku lama itu ternyata adalah ESQ ditulis jauh sblm ESQ Eickman dll yg umumnya menjadi rujukan training ESQ dimanapun. Sejak sadar demikian, sy berusaha menulis Kecerdasan Insan Kamil berpijak buku Mandzumatul adzkiya dan literatur literatur selama nyantri.
Dalam pergulatan di Budi Mulia, suatu saat sehabis mengaji malam, saya duduk di tangga masuk ke mesjid, menghadap ke timur, ternyata bulan sedang Purnama, inspirasiku bergetar, lalu kutulis pusis berjudul "Purnama di Budi Mulia", puisi ini kemudian terpilih dan diterbitkan dalam antologi "Puisi Sosial mahasisaw" yang diterbitkan Balairung UGM. Menuruthemat saya sebagai penulis, puisi pendek itu menggunakan pilihan kata yang sederhana. Memaparkan pergolakan pemuda dalam "Membidik Masa Depannya". Jihad membidik masa depan dengan penuh resiko, dengan anak panah kembar, Ilmu profesional sesuai yang dipelajari di kampus masing-masing dan ilmu agama untuk menjadi muslim yang penuh komitmen.
Santri periode pertama, mengambil term khawariyyun, 12 orang, 3 dari kedokteran UGM (Ghufron, Awwaluddin, Gunawan), Misbahul Huda (T. Elektro UGM), Pramono Nugroho (MIPA FISIKA), Agus Cahyono (Teknik Nuklir), Kusnan dan haryadi (Kehutanan), Nur akhsan sulistio (Pertanian), Hajdid affandi (Akprind), Edy Setijawan (FE UGM) dan saya sendiri dari Fakultas kedokteran Hewan UGM. Menjalani romantika kehidupan dengan dua tanggung jawab belajar, sebagai mahasiswa dan sebagai santri, dan membidik masa depan masing-masing sebagaimana tergambar di Puisi Purnama Di Budi Mulia tersebut.
Subhanallah, puisi yang sering dicantumkan dalam buku-buku pengajian (Itikaf Ramadhan maupun Pengajian Laijn di PP. Budi Mulia) itu, essensinya, telah menjadi kenyataan, kita perlu menyukuri, karena separoh dari 12 santri itu kini telah menjadi doktor, berkarya denagan memilih tetap komitmen di jalan lurus dengan menjadi direktur-direktur diberbagai perusahaan, Edi di BI, Ghufron Wamenkes, Misbah di Temprina (Keparcayaan Dahlan Ihsan), Pramono di LIPI, Agus Cahyono ahli Nuklir, Khusnan dan haryadi pejuang pejuang Kehutanan. Awaluddin ahli bedah syaraf, Gunawan mengabdi di Puskesmas, Nur akhsan membina masyarakat di kebun sawit, dan saya sendiri sebagai warga negara yang baik.
Bagi saya, ini sebuah prestasi dari lembaga pendidikan yang bernama Pesantren Budi Mulia, Budi Mulia yang Purnama, yang menerangi apapun jenis profesi yang ditekuni santrinya. dan saya yakin Budi Mulia akan terus Purnama, jika santri-santri yang kini ada benar benar selalu digosok agar menjadi berlian-berlian di masa datang.
Ustadz, Pak Amien, Pak watik, Pak Kunto, Pak Syaefullah, Pak Muhyidin, Pak Husen Ahmad, Pak Syafii, Pak Mansur, Pak Chairil, Pak Djamaluddin, Pak AR, Pak Nukman, Pak Yunahar, Pak Masri, Pak Darban dan Pak Adabi darban, Pak Ichlasul Amal, Pak Yahya Muhaimin , Mas Hernowo dan semua asaatidz ,kami menucapkan Jazaakumullahu khoiron katsiron. Semoga Budi Mulia Tetap Purnama, dan Santri Budi Mulia menjelmakan Purnama dimanapun mereka berada. Pertemuan minggu lalu, dimana kita akan melakukan amal bersama untuk umat, mudah-mudah mendapatkan kemudahan dari Allah SWT, insya Allah saya akan berkonstribusi dengan apa yang saya bisa, CINTA : Dengan 3 paket 1) pengenalan CINTA, 2) Membumikan CINTA dan 3) Totatilat CINTA, yang merupakan "breakdown" dari pengertian Adzakiyu atau Alkayiyu dan Ulul Albab ! Amin.