Monday, August 1, 2011

TAQWA IS THE GREATEST OF LOVE



KHOLIFAH ILAHI

Mata hari,
Kubisikkan padamu
Agar tidak terlalu menyala
Karena sebentar lagi,
Kau harus menyinari seribu bulan.
...
Mata hari,
Kuisyaratkan padamu
untuk menutup mahkotamu
Karena bermilyar mahkota
telah menempati ruang hati
untuk metamorfosis khalifah sejati





Bagi saya, Taqwa is The Greatest Of LOve. Cinta (Mahabbah) Yang Paling Agung sebab : hanya orang yang sunguh-sungguh mencintai yang mau melakukan sagala yang diperintah dan mau menjauhi segala yang dilarang dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Hal ini dapat diambil pengertiannya dari difinisi taqwa itu sendiri : imtitsalu awaamirihi wajtinaabu nawaahihi. yakni menjalankan segala perintah-Nya (Allah) dan menjauhi segala larangan-Nya. Seorang yang mencintai dengan totalitas, akan dapat melakukan itu semua, makanya dia akan menjadi The Winner (Laqod faazal Muttaqun. Orang-orang yang cintanya tidak samapi derajat itu maka adang dia harus menjelma menjadi Pecundang (The Looser), yang selalu mencari-carai alasan untuk berhenti mencintai.

Cinta sejati, dalam hasanah budaya manapun, selalu menuntut prasarat dan pengorbanan yang harus dilakukan. Prasyarat dan pengorbanan itu menjadi proses "pengujian" sejauh mana Pecinta benar-benar ingin mewujudkannya. Sebagai contoh, kisah tentang pemuda tani yang membuktikan keseriusan cintanya dengan menguras lautan supaya mendapatkan mutiara yang ada di dasar lautan tersebut. Ketika sang pemuda telah menunjukan keseriusan usahanya, jalan kemudahanpun terbuka baginya.



Orang-orang yang mengejar Cinta Teragung dari Yang Maha Kasih dan penyayang, jauh mendapatkan kemudahan untuk mencapainya. Karena, Ketika kita mendekat sejengkal, Dia mendekat sedepa. Ketika kita mendatangiNya berjalan, Dia menyambut kita dengan berlari. Inilah axioma yang terbukti tidak pernah melahirkan kekecewaan dari para pengejar Cinta Tuhan.

Difinisi lain tentang Taqwa yang mendukung anggapan saya adalah : Anyataqiyal insanu maa yaghdlobuhumullahu wamaa dlororun linafsihi walighoirih, yakni takutnya manusia akan segala yang membuat Allah marah kepadanya, dan takut berbuat yang membuat dirinya dan orang lain celaka. karena mahaabbah, orang yang Taqwa tidak mungkin membuat orang lain celaka. Semuanya diukur dengan kalimah utam yang menentukan kualitas amal kita "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang".

Seperti kita mahfumi bersama, perbuatan sebaik apapun tanpa di landasi dengan "Asma Allah" (Arrohmanirrohiim) iti terputus kebaikannya. Artinya perbuatan baik yang kita lakukan semestinya dilandasi oleh refleksi dari kerohman dan kerahiman Allah. Segala yang kita lakukan benar-benar harus dilihat hal itu mengandung "kasih dan sayang" atau tidak.



Pengertian di atas menunjukan bahwa Pecinta Paling Agung (Muttaqien), dalam setiap amaliahnya senantiasa berusaha agar Tuhan selalu tersenyum kepadanya. Juga selalu berusaha agar dirinya, diri orang lain yang sama-sama ada karena Kraesi_Nya selalu dalam kebaikan. Seorang Muttaqin akan selalu membangun taman-taman firdaus tempat bermain semua anak-anak bangsa bernyanyi bersama di setiap jengkal alam raya. Bukan sebaliknya, bermimpi mendapat surga di langit tinggi dengan menabur neraka di muka bumi. Ini sangat relevan dengan dalil : Orang yang paling baik diantaramu, adalah orang yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. Paling baik (mulia) di sisi Allah ya orang yang bertaqwa. Artinya, orang yang bertaqwa, adalah orang yang paling bermanfaat.


Taqwa itu sendiri sebananya sebuah anugerah yang dikaruniakan sejak pembentukan manusia itu sendiri. Dalam Q.S. Asy Syamsi, dikatakan : fa alhamaha fujuroha wattaqwa ha. Manusia dalam kejadiannya dilengkapi dengan "potensi" fujur dan taqwa. Dualisme potensi ini pada akhirnya akan berkembang sesuai perjalanan waktu. Sebagaiman perkembangan fisik dan psikis, Potensi fujur dan taqwa berkembang sesuai dengan perlakuan, pola asuh dan lingkungannya. Dan ke dua orang tuanyalah yang menjadikannya "yahudi atau nashrani".



Disinilah makna tanggung jawab orang tua. Orang tua yang benar-benar memberikan perlakuan, pola asuh, lingkungan yang memungkinkan Taqwa itu tumbuh berkembang dengan subur dia akan memetik keuntungan dengan memperoleh pada saatnya nanti, anak-anak yang sholeh, yang senantias melakukan birul walidain. Sebaliknya orng tua yang khilaf, yang terlena dengan kesibukan pemenuhan kebutuhan fisik belaka, akan menuai panen yang "puso" , tidak bernas, karena anak-anaknya ternyata tidak tahu bagaimana seharusnya menjadi anak.


Ramadan sebagai bulan Riyadloh, benar-benar harus dimanfaatkan oleh setiap kita (orang tua), untuk melihat sejauh mana anak-anak kita tumbuh dalam nafas taqwa, dalam meliu mahabbah tertinggi. Karena Taqwa adalah Mahabbah, maka menumbuhkannya haruslah dilandasi dan dijalankan dengan penuh mahabbah pula. Dengan sentuhan Mahabbah, apa yang kita lakukan akan benar-benar terukir dalam jiwa dan sanubari anak kita, sehingga mereka tumbuh sebagai manusia dengan Cinta yang Agung.

Sungguh apa yang almarhum bapak saya lakukan, tidak akan pernah terlupakan. Sebagi seorang supir Pabrik Gula yang harus berangkat pagi pulang malam, beliau selalu menyempatkan menjemput saya yang mengaji di surau sekitar 1,5 Km dari Rumah. JIka hujan beliau menggendong saya di selimuti jaz hujan, dan berjalan dengan lampu senter di jalanan yang gelap dan becek. Tidak hanya menjemput, biasanya beliau juga mengamati saya mengaji, jika saya bergurau atau kurang serius maka beliau menegur dan menasehati dengan bahasa Cinta seorang ayah.



Insya Allah, bi bismillahirohmanirrohiim, jika ini dijalankan oleh keluarga, kampung, negara dan seluruh umat Islam sedunia, maka hidup kita kedepan, dunia ini akan penuh dengan mahabbah. Mahabbah yang penuh berkah. Semoga !



No comments:

Post a Comment